Fera Nuraini Blogger BMI

Jangan Sebut Aku Lesbian

5:08 PM


5 Tahun aku di Hong Kong, statusku masih lajang. Kuputuskan berangkat ke Hong Kong setelah mendapat restu dari kedua orang tua. Aku lahir di salah satu kota di Jawa Timur dari 4 bersaudara, aku nomer dua.

Umur 19 aku masuk penampungan untuk proses Hong Kong, dan seperti biasanya, umurku pun dituakan menjadi 21 tahun. Hidup di penampungan aku nikmati bersama dengan 100 lebih calon buruh migran lainnya. Rata-rata mereka masih baru lulus sekolah tinggat SMA dan otomatis umur mereka dituakan.

Inilah awal orientasi seksualku dimulai. Aku yang sebelumnya tidak pernah pacaran dengan lawan jenis seperti terbius oleh perhatian seorang kawan di penampungan. Penampilannya kadang tomboy tapi bisa juga feminim. Saat duduk didekatnya yang kurasakan adalah sedang berdekatan dengan seorang laki-laki. Apalagi saat kami ngobrol hanya berdua.

Cerita pun berlanjut sampai kami sama-sama berada di Hong Kong. Jarak kami berangkat tidak terpaut terlalu jauh. De, sebut saja begitu. De meninggalkan nomer telpon milik temannya yang berada di Hong Kong, dia berharap saat aku tiba di Hong Kong, aku bisa mencarinya melalui temannya ini.

Usai potong gaji 7 bulan, tanpa sepengetahuan majikan aku beli hape yang murah, sekedar bisa menghubungi keluarga di kampung halaman dan juga mencari De.

Aku tidak lupa dengan niat awalku bekerja di Hong Kong, menyekolahkan adikku dan membeli sawah agar bisa ditanami oleh orang tuaku. Memperbaiki rumah adalah nomer sekian, yang penting adikku sekolahnya lancar. 

Akhirnya aku dipertemukan lagi dengan De. Penampilannya terlihat lebih bersih dan rapi. Celana komprang, kaos oblong, potongan rambut ala cowok dan tanpa make up. Itulah yang kusuka dari De. Aku sendiri masih dengan kostum kesukaanku, celana pensil dan hem longgar, rambutku yang waktu di penampungan dipotong pendek kini panjangnya sebahu, make up pun sederhana.


Kami melepas kangen dengan ngobrol seharian di salah satu pojok Victoria Park. Menggelar plastik berwarna putih, kami duduk berdua di sana. De tak banyak berubah, hanya terlihat lebih kalem dan tertata omongannya.

Minggu berikutkan kami selalu menikmati liburan berdua, kadang jalan ramai-ramai dengan teman-temannya yang sudah lama bekerja di Hong Kong. Kalau sudah begini, rasa capek 6 hari bekerja di rumah majikan hilang seketika. Teman-teman De hampir semuanya berpasangan, itu aku tahu dari panggilan mereka, "lokung dan lobo" atau suami istri. Sedang kami, De lebih suka memanggilku dengan sebutan siuce (nona) dan aku memanggilnya dengan De saja.

Sebenarnya kami tidak pernah mengungkapkan perasaan masing-masing, tapi aku sendiri merasakan kenyamanan saat berjalan dan ngobrol dengannya, layaknya pasangan kekasih.

Puncaknya ketika aku finis kontrak dan ingin pindah majikan. De yang sedang merawat orang tua membutuhkan seorang teman lagi untuk bekerja serumah dengannya. Tanpa pikir panjang, De menawari aku dan aku pun menerima tawarannya. Setelah visa turun, kami pun bekerja serumah.

24 jam tinggal serumah, meski kadang ada cek-cok kami jalani hari-hari dengan penuh semangat. Aku tetap rajin mengirim uang untuk sekolah adikku juga menyisihkan untuk tabunganku sendiri. Pun juga dengan De, kami selalu bertukar pikiran soal mengatur gaji kami.

Semenjak dekat dengan De, ketertarikanku dengan lawan jenis seperti terkunci dan mati. Aku sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya laki-laki. Kuberanikan diri menceritakan hal ini ke De dan aku kaget dengan jawabannya. Ternyata dia sudah lama ingin menceritakan hal yang sama seperti yang aku rasakan tapi tidak berani.

Setelah kami sama-sama tahu perasaan masing-masing, kami pun berjanji akan saling menjaga dan tidak akan menyakiti. 

"Santai aja Siuce, kita jalani aja. Yang penting kita tetap ingat dengan keluarga kita dan tetap ingat dengan tujuan awal ke Hong Kong. Aku sih gak pengen gagal lagi seperti dulu." Kata De suatu sore saat kami ngopi bersama di rumah majikan.

De pernah bekerja di Hong Kong sebelumnya 4 tahun dan tidak menghasilkan apa-apa. Dia tidak ingin gagal lagi seperti sebelumnya, itulah kenapa De sangat perhitungan soal keuangan, aku belajar banyak sama De.

Entah sesungguhnya kami pasangan lesbi atau bukan, yang jelas, saat berada didekat De, aku merasa dilindungi dan menemukan kenyamanan. Pun juga dengan De. Dan kami tetap dengan style kami, tanpa ada yang berubah. De dengan celana komprang dan kaos oblongnya, dan aku masih tetap dengan gayaku. 

Banyak cerita aku dengar tentang pasangan lesbi yang menghabiskan gaji sebulan bersama pasangannya. Beli baju dengan merk mahal, makan di restoran, libur foya-foya dan lainnya. Biarlah itu mereka, yang penting aku tidak seperti mereka. Aku dan De tetap ingat keluarga di rumah dan tetap saling mengingatkan tujuan awal kami ke Hong Kong.

Kadang aku berkhayal, seandainya De laki-laki, aku pasti akan menikah dengannya. De sendiri tidak pernah menyinggung soal laki-laki atau cowok selama kami dekat. Sedang untuk beralih ke laki-laki, rasanya sangat sulit aku lakukan, aku takut kehilangan De.

Mungkin sementara biarlah kami begini, tapi aku tetap ingin menikah dan menjadi Ibu nantinya. Tapi, bisakah aku beralih ke lain hati? Aku sendiri tidak tahu sampai kapan kecintaanku terhadap De berakhir. Aku butuh dia dengan segala perhatian dan kasih sayangnya. Aku ingin selalu berada disampingnya dan berbagi tentang apa saja.

Yang membuatku nyaman adalah De tidak pernah menuntutku macam-macam harus begini dan begitu. Kami tetap ingat keluarga di kampung dan kami tidak pernah melakukan hubungan layaknya pasangan. Kami sebatas berbagi perhatian dan kasih sayang, saling memberi rasa nyaman meski ada rasa takut kehilangan.

Apakah aku bisa kembali normal nantinya? Mencintai laki-laki, menikah lalu menjadi Ibu? Entahlah. Sementara biarlah aku bersama De. Tapi tolong, jangan sebut aku seorang lesbian.


NB: Kisah terpendam seorang sahabat. Semoga kau baik-baik saja.



You Might Also Like

14 komentar

  1. Waktu jalan ke Hongkong beberapa tahun lalu, saya memang banyak melihat model2 orang yang mbak Fera ceritain ini. Kadang bergerombol kadang berpasangan. Beberapa org berpenampilan tomboy dan beberapa yang lain feminin.

    Kalau yang berpasangan saya amati seperti pacaran gitu.. Cukup memprihatinkan juga lihat gaya hidup mereka ya mbak...

    Salam dari Kairo :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mak pernah ke HK ya?
      Ya begitulah mak, tapi kembali lagi itu adalah hak mereka, sensitif ya kalau bahas soal ginian :)

      Delete
  2. menyimak ceritanya, sama bingung juga mo komen apa hehehe

    ReplyDelete
  3. *garuk2 kepala mau komen apa hehehe

    ReplyDelete
  4. kalo yang saya amati dari profil FB mereka, ada yang kayak suami isteri gitu, apa mereka menikah ya?

    ReplyDelete
  5. tak usah menjlekan apa yg ada di diri mereka...karna tanpa kita sadari mereka juga tersiksa dgn keadaan mereka sendiri seharusnya kita mendekati mereka agar menjadi lebih baik lagi untuk menjadi seorang wanita..bukan seolah mencemooh keadaan mereka...coba kita putar balik jika posisi kita di posisi mereka..apa yg akan kita lakukan....jadi introfeksi diri masing2...brlum tentu pula yg berpenampilan biasa lebih baik dr mereka...bahkan ada yg lebih mengenaskan nasibnya dibanding mereka

    ReplyDelete
  6. yah ceritanya belum klimaks :)
    tapi seruuu juga.

    ReplyDelete