BMI Hong Kong

Perbudakan Terhadap PRT di Rumah Jenderal

9:55 AM

     Hak libur seperti di Hong Kong seharusnya juga bisa dinikmati para PRT di dalam negeri.

Setelah kasus penganiayaan Erwiana mencuat di Hong Kong dan Indonesia, kini adalagi kasus perbudakan serupa terjadi di Indonesia. Bukan cuma satu korbannya, tapi 15 orang. 

Pelakunya diduga  adalah seorang petinggi di Mabes Polri. Kasus ini mencuat setelah satu dari ke 15 pekerja tersebut berhasil kabur dari rumah mewah berpagar setinggi 3 meter disertai lilitan kawat berduri di pucuknya. 


Yuliana, pekerja yang berhasil
kabur dan melapor ini bekerja di rumah keluarga MS sejak November 2013. Yuliana adalah satu dari sembilan pekerja perempuan. Selain itu, ada enam pekerja lelaki.

Menurut Yuliana, selama bekerja di sana sering mendapatkan tamparan dan cakaran meski hanya kesalahan kecil, selain itu gaji juga tidak dibayar. 

September 2012 kejadian serupa juga pernah dialami oleh 12 pekerja asal Nusa Tenggara Timur kabur dari rumah MS karena mendapat siksaan dan tidak digaji (Tribunnews.com).

Bagaimana kasus ini bisa terulang kembali? Di rumah yang sama dan oleh pelaku yang sama? 

Apakah karena pelakunya seorang istri Jenderal atau petinggi  jadi kasusnya dibiarkan saja tidak berani mengusut?

Kalau kasus di dalam negeri saja tidak mampu menangani, bagaimana bisa mengurus ratusan ribu warganya yang terkena kasus di luar negeri? 

Rancangan UU tentang PRT yang lama diusulkan pun sudah tak terdengar rimbanya, ratifikasi konfensi ILO 189 pun diabaikan. Tapi di sisi lain, pemerintah sangat semangat untuk mengirim warganya kembali ke Arab Saudi, negara yang tidak jelas peraturan hukumnya terhadap pekerja.

Gaji PRT yang tidak jelas, hak sebagai pekerja yang diabaikan membuat PRT di dalam negeri kebanyakan dan hampir semuanya  nerimo saja. 

PRT juga punya hak sebagai pekerja. Sayangnya Indonesia belum mengakui PRT sebagai pekerja, yang mempunyai hak gaji, hak libur dan hak jam kerja. PRT sampai detik masih dalam golongan kelas paling bawah, paling rendah, dan pekerjaan paling kasar.

Tidak adanya hak-hak yang jelas bagi PRT inilah yang membuat majikan seenak sendiri memperlakukan PRT di rumahnya. 

Indonesia dengan 250 juta jiwa dan memiliki angka sangat besar yang bekerja sebagai PRT. 8,3 juta warga Indonesia bekerja sebagai PRT di dalam dan luar negeri. 

PR besar pemerintah adalah segera meratifikasi konvensi ILO 189 yang sampai sekarang masih mengambang, juga mengesahkan RUU bagi PRT. Masa kalah dengan Filipina.

Indonesia selalu terlambat dalam merespon apapun hal yang berkaitan dengan PRT. Pekerjaan yang selalu dianggap paling rendah dan paling kasar. Gaji  yang tidak memenuhi standar UMR, jam kerja yang melebihi batas dan kekebasan yang terkekang. 

Mencuatkan kasus ini semoga bisa jadi tamparan bagi pemerintah dan juga para majikan kususnya di Indonesia. Kalau kasus ini tidak diusut secara tuntas, jangan harap kasus serupa tidak terjadi kembali. 

Harusnya pelaku seperti ini sudah di blacklist dan tidak diijinkan merekrut PRT, tapi apa mungkin? Apalagi pelakunya seorang istri Jenderal? 

Berkaca pada Hong Kong, apapun jabatan majikan, sekaya apapun majikan, kalau memperlakukan pekerjanya sekeji ini dia tidak akan diijinkan mengambil PRT kembali selamanya, selamanya tidak akan diijinkan mengambil pekerja. 

Indonesia katanya negara hukum, tapi nyatanya hukum bisa dibeli oleh para penegak hukum itu sendiri. Tragis.

You Might Also Like

10 komentar

  1. Replies
    1. Di rumah jenderal dan pernah memperlakukan hal yang sama beberapa tahun lalu, kok ya lolos ya mak :(

      Delete
  2. Mudah2an perlakuan keji itu ditindak tegas ya mbak :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semog mak, secara ini perlakunya nyonya jenderal :(

      Delete
  3. Biarpun pnya pangkat tetap harus dihukum setimpal

    ReplyDelete
  4. G mungkin...indonesia kan negara TAWETKEM alias TABOK DUWET MINGKEM.......nelangsa le pemimpine tetep koyo gethok.

    ReplyDelete