Senja di Parangtritis
Pantai Ngobaran, mendengar namanya pun baru pertama kali, mungkin karena kurangnya promosi jadi pantai secantik ini belum seterkenal pendahulunya yakni Parangtritis. Setelah puas main di pantai Ngobaran, kami lalu melanjutkan perjalanan ke tempat lain, yup, tujuan selanjutnya adalah pantai Parangtritis.
Siapa sih yang tidak kenal pantai ini? Tapi kata kebanyakan orang sih pantai ini kotor tidak secantik dulu lagi. Benarkah? OK akan saya buktikan setelah kaki ini menginjak di sana. Dari Ngobaran, kembali kami naik motor menuju target selanjutnya dan kembali saya di belakang Mas Khayat (jadi penumpang itu enak banget mas :D) sedang Mbak Nisrina berboncengan dengan Mbak Yuna.
Jalanan menuju Parangtritis dari Ngobaran ini lumayan memacu andrenalin (halah). Naik turun dan berliku serta tidak ada petunjuk jalan, jadi kalau pas naiknya lumayan tinggi harus sangat hati-hati karena tidak tahu setelah sampai atas nanti harus belok kanan atau kiri atau malah jalanan lurus. Tapi jalanan aspalnya patut saya puji karena lumayan halus dan tidak berdebu, mungkin karena belum lama diperbaiki.
Sepanjang jalan menuju Parangtritis banyak sekali terlihat pohon kelapa di sawah dan bukit. Jarak rumah agak jarang dan jalanan juga sepi, tapi ini malah menguntungkan kami karena perjalanan sangat lancar tidak terganggu kendaraan lain. Apalagi jalan yang sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja sejenis avansa. Tapi kalau main ke tempat wisata begini memang enak naik motor, jadi bisa menyapu pandangan ke kanan kiri.
Dari Ngobaran ke Parangtritis karena mengambil jalan memutar memakan waktu kurang lebih 30 menit (seingat saya). Jam 5 sore sampailah kami di Pantai Parangtritis. Daaannn, akhirnya kaki saya menginjak juga di pantai ini. Lumayan ramai Parangtritis sore itu meski bukan akhir pekan. Kebetulan malam harinya ada Kyai Kanjeng (Can Nun) mengadakan pengajian di sana, pas kami sampai, panggung sudah berdiri dan beberapa orang sedang menyiapkan perlengkapan lain.
Saya dan Mas Khayat mendekat ke pantai sedang Mbak Nisrina dan Mbak Yuna ke toilet. Senja mulai memerah dan angin kas sore berhembus. Pandangan menyapu ke seluruh pantai, luas sekali, lagi-lagi dalam hati saya mengucap, "begitu indah ciptaan-Mu ini." Kenapa di Hong Kong tidak ada? Tapi sepertinya saya harus mengamini apa yang kawan-kawan Infest bilang bahwa Parangtritis kotor tidak seperti dulu lagi.
Pada senja yang menyisakan rindu
Senja kalah cantik sama Mbak Nisrina :D
Dengan Gudang Garam yang selalu setia :P
Sepertinya kesadaran masyarakat kita terhadap lingkungan sangat memprihatinkan. Buang sampah seenaknya sendiri tanpa memikirkan dampaknya. Padahal pantainya bagus banget, perbandingan dengan pantai di Hong Kong yang hanya menang bersihnya tapi untuk urusan ombak tidak ada yang patut dipamerkan/ dibanggakan dari pantai-pantai di Hong Kong.
Jagung bakar made in Parangtritis
"Mas, ada jagung bakar." Telunjukku mengarah ke seorang ibu yang sedang mengipasi jagung. Di depan dan sebelah kirinya ada tikar.
"Mau?" Jawab Mas Khayat.
"Mau, sudah lama gak makan jagung bakar." Jawabku.
"Yuk." Ajaknya mendekat ke arah tikar.
"Buk, jagung 2."
"Mau pedas apa manis, Mas?" Jawabnya ramah.
Saya memesan pedas dan Mas Khayat pesan manis tapi ternyata tertukar :D Gak papalah, sama-sama jagung bakarnya.
Mbak Yuna dan Mbak Nisrina datang dan semakin betahlah acara duduk sambil menikmati jagung di pinggir pantai ditambah lagi pemandangan senja yang begitu menggoda. Sambil ngobrol dengan Ibu penjual jagung yang begitu penuh semangat demi anak-anaknya. Ceritanya lumayan membuat treyuh sekaligus mengingatkan kami akan perjuangan seorang Ibu demi anaknya.
Ibu itu menjawab pertanyaan kami, tentang penghasilannya, anaknya, suaminya, dan tentang suka duka saat berjualan di pantai Parangtritis. Kadang pas hujan jagung hanya laku 4 atau 5 saja, curhatnya.
"Pernah itu mas, waktu ada hujan angin. Kan saya tinggal sebentar, eh dagangan saya ini berantakan dibawa angin dan lampu juga mati. Tapi gak kapok, gimana lagi demi anak." Katanya.
Ibu dalam cerita ini
Mbak Nisrina gak kepoto karena lagi moto
Ya, satu kata "demi anak" inilah yang menjadi semangatnya terus berjualan, meski kadang hujan dan pulang ke rumah basah kuyup. Obrolan pun jadi tambah seru dan ilmu baru saya dapat di sini. Bahwa demi anak orang tua akan rela melakukan apa saja yang penting anaknya sukses dan tidak seperti orang tuanya.
"Aku pengen anakku nanti menjadi orang sukses, tidak seperti aku, orang tuanya ini." Begitu kira-kira kalimat kebanyakan orang tua saat menceritakan anak anaknya ke orang lain. Pun juga dengan orang tua saya sendiri.
Jam menunjukan angka 8 saat kami beranjak meninggalkan pantai itu. Rasanya enggan beranjak, berharap di lain waktu semoga bisa main lagi. Terima kasih buat Mas Khayat, Mbak Nisrina, dan Mbak Yuna sudah ngajak saya jalan-jalan selama di Jogja. Semoga masih diberi kesempatan buat kumpul bersama lagi :)
2 komentar
wow,senjanya ciamik bangetttt..cantik mbk,saya dulu pagi ke parisnya hbs itu makan2 di pantai depok,deket situ^^
ReplyDeleteBaru pertama kali saya melihat senja secantik ini, mbak Hana.
DeleteJadi enggak untuk pulang, sayang senja hanya sebentar singgah dan berganti malam.
:)