Sebelumnya
Nita benar-benar menelepon saya keesokan harinya. Nada suaranya masih berat terdengar di telinga saya.
Nita benar-benar menelepon saya keesokan harinya. Nada suaranya masih berat terdengar di telinga saya.
"Minggu depan,
mbak. Saya liburnya Sabtu dan Minggu, gantian." jawab saya.
"Yah, gak bisa
ketemu dong, mbak." seperti ada rasa sesal dalam nada suaranya.
"Tenang mbak,
kalau libur Sabtu saya akan kabari, atau sampeyan minta libur Minggu bisa gak?" jawab saya lagi.
"Saya liburnya Sabtu terus, mbak. Gak pernah
dikasih Minggu." tambahnya.
"Oh, ya sudah gak papa. Kan ada telpon. Kalau
butuh temen ngobrol, telpon saya aja." hibur saya.
"Iya mbak. Oh iya, kemarin itu setelah cerita
ke sampeyan, pikiran saya agak plong, mbak. Perasaan saya lebih tenang."
curhatnya.
"Nah, bagus dong, mbak. Kalau ada masalah
jangan disimpan sendiri. Banyak kok teman yang peduli, yang meskipun tidak bisa
membantu semuanya, paling tidak bisa mengurangi ganjalan di hati
sampeyan." tambah saya.
"Benar sekali, mbak. Saya jadi mikir, untung
kami belum nikah, kalau menikah trus dia kayak gitu, entah apa jadinya saya
mbak. Belipat-lipat sakitnya pasti." katanya kemudian.
"Mbak, percayalah, yakinlah, apa yang kita
yakini baik dan sempurna itu belum tentu baik di mata Allah." tambah saya.
"Iya, iya, mbak betul." jawabnya.
Hari-hari setelahnya hampir setiap hari kami
ngobrol. Saya merasa banyak perubahan pada Nita. Yang sebelumnya saya tidak
pernah mendengar tawanya, dia jadi bisa tertawa saat kami cerita hal lucu. Nita
mulai bisa menerima keadaan. Mulai iklas menerima kehilangan orang yang yang
dia sayangi.
Meski saya tahu tak mudah untuk melupakan pacarnya,
tapi paling tidak Nita sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri untuk tidak
dikendalikan oleh perasaannya karena terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.
Saat libur Sabtu, saya meluangkan waktu untuk
sekedar ngopi bersama disela-sela libur saya yang kadang ada acara kadang juga
kosong. Melihat Nita bisa tersenyum dan tertawa rasanya ikut bahagia. Nita,
umurnya menginjak 25 tahun. Perawakannya mungil kulitnya coklat.
"Gak nyangka, mbak. Saya bingung harus
gimana." dengan gelengan kepala Nita mendesah melanjutkan ceritanya soal
bagaimana saat pacarnya butuh biaya mendesak, Nita mengirim uang untuk
pacarnya.
"Bingung juga ya, mbak. Apalagi nilainya
lumayan untuk ukuran keluarga di kampung." jawab saya.
"Iya, mbak. Makanya......., saya kalau
ingat....., akh gak taulah mbak." katanya lagi.
Dilema. Nita, saya tidak bisa menganjurkan kamu
harus bagaimana. Saya cuma bisa membantu doa semoga urusan kalian cepat
selesai. Jangan sampai gara-gara masalah ini masa depanku yang masih panjang
hancur. Kasihan orang tua dan saudara-saudaramu di kampung.
Saya janji akan selalu ada untukmu. Semampu dan
sekuat saya akan selalu menjadi pendengar setiamu atas segala keluh-kesahmu.
Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, Nita.
Percayalah. Dengan kejadian ini kamu pasti jadi lebih berhati-hati lagi
berkenalan dengan orang apalagi di dunia maya.
Hmmmm, cinta memang buta. Pesonanya mampu
memporak-porandakan siapa saja yang dilanda. Mampu menghancurkan karang sekalipun. Lebih tragisnya, kesetiaan yang dijaga harus sirna sekejap saja oleh
godaan orang ketiga.
But, Allah Maha Adil. Toh DIA lebih tahu mana
yang terbaik untuk umat-NYA. Bukankah wanita yang baik hanya untuk laki-laki
yang baik? Dan sebaliknya.
Nita, tenangkan hatimu. Mari bersama terus
memperbaiki diri menyambut hadirnya yang baru, yang pasti benar, yang tidak
akan mengecewakan, tidak akan menyakiti dan menduakan, tidak akan menghianati
karena ketakutannya pada Illahi.
Jangan mencari yang takut istri, tapi mari
mencari yang takut pada ILLAHI ROBHI.
Fight Nita. I’ll be there for you.
4 komentar
Ikut nongkrong dimari yah,,
ReplyDelete^_^
Bang Iaann,,,,makasih sudah mampir :D
DeleteHahahaha,, baru tw saya klo dirimu seorang blogger juga,, keren kerenn (y),,,
DeleteLanjutkan ya,,
Saya tunggu cerita-cerita yang laen,,
:)
Yeii,,,udah lama kali bang :D
DeleteOK siapppp semangat melanjutkan cerita-cerita yang masih terpendam :D